Kemenperin Siapkan Standardisasi Produk Rokok Elektrik
Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) turut berperan aktif meningkatkan nilai investasi di tanah air dengan menarik sejumlah pelaku industri potensial.
“Ada beberapa produsen rokok elektrik yang berminat investasi di Indonesia. Sepengetahuan kami, ada sekitar 10 perusahaan yang sedang dalam tahap penjajakan,” kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo di Jakarta, Jumat (4/11).
Menurut dia, melihat, potensi bisnis rokok elektrik yang terus berkembang, menjadi peluang bagi para produsen rokok untuk menyuntikkan modalnya di sektor tersebut. Tren rokok elektrik diperkirakan muncul di Indonesia sejak tahun 2010, dan semakin marak pada empat tahun kemudian.
“Sampai saat ini, terdapat 2,2 juta pengguna hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), termasuk rokok elektrik. Jumlahnya bertambah sekitar 40 persen dari total pengguna tahun lalu. Dengan perkembangan yang pesat tersebut, tentunya pemerintah perlu memberi perhatian yang lebih,” paparnya.
Lebih lanjut, pemerintah masih menyiapkan pengaturan serta pengembangan terkait dengan mutu produk sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terus mengikuti perkembangan teknologi, konsumen, dan regulasi.
“Pemerintah juga mendorong riset dan pengembangan untuk industri rokok elektrik yang masih baru sehingga produk yang dihasilkan bisa sesuai standar konsumen dan memiliki dampak lebih kecil terhadap kesehatan,” ujarnya.
Edy mengungkapkan, pengenaan tarif cukai terhadap produk rokok elektrik sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap industri tersebut.
“Secara kebijakan, pemerintah sudah mengakui keberadaan daripada industri rokok elektrik, dengan dibuktikan adanya pengenaan cukai,” tuturnya.
Ketika dikenakan cukai pada 2018, kontribusi cukai rokok elektrik ini mencapai 98,9% dan meningkat pesat pada 2021 menjadi 629,3%. Dengan kata lain, rata-rata setiap tahunnya naik 84,2%.
Tahun ini rokok elektrik ditargetkan bisa menyumbang cukai hingga Rp1 triliun. Angka tersebut naik dibandingkan dengan tahun 2021 yang kontribusinya diestimasi sekitar Rp629 miliar.
Sedangkan Ketua Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (Appnindo) Teguh Basuki Ari Wibowo mengatakan, pihaknya meminta kepada pemerintah dapat merelaksasi tarif cukai untuk tahun depan. Saat ini, cukai diatur dalam PMK No. 193/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Relaksasi diperlukan mengingat skala industri rokok elektrik yang relatif masih kecil. Pada 2021, kontribusi rokok elektrik terhadap penerimaan cukai negara dari industri hasil tembakau (IHT) senilai Rp629,3 miliar atau hanya 0,3% dari total penerimaan cukai hasil tembakau.
“Dengan kontribusi pajak masih 0,3% dari total produk IHT, maka kami berharap ada relaksasi tarif cukai ke pemerintah untuk tahun depan,” tutur Teguh.
Menurutnya, pelaku usaha berharap agar pemerintah memberi relaksasi terhadap industri rokok elektrik karena sebagai sektor padat karya.
“Tenaga kerja yang sudah terserap sekitar 80 hingga 100 ribu orang. Tentu kalau ada relaksasi, menjadi peluang untuk meningkatkan penerimaan negara,” kata Teguh.
Sementara itu, General Manager RELX Indonesia, Yudhistira Eka Saputra menambahkan, pihaknya tengah mengkaji peluang untuk membangun pabriknya di Indonesia.
“Sebagai perusahaan global, tentu kami ingin membangun pabrik di banyak negara. Apalagi pasar Indonesia sangatlah besar, tetapi ini butuh kajian yang panjang sambil melihat perkembangan regulasi,” ucapnya
Yudisthira juga mengemukakan, pihaknya mendukung penuh langkah pemerintah yang tengah menyusun SNI untuk produk hasil tembakau termasuk rokok elektrik.
“Kami berharap agar ke depannya bisa dipermudah untuk mendapatkan SNI, sehingga industri bisa tumbuh lebih besar lagi di Indonesia,” tegasnya.