Miris, Nasib Petani Tembakau Semakin Tidak Pasti
Jakarta – Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah seperti tembakau yang merupakan bahan baku untuk industri rokok.
Saat ini, banyak pabrikan rokok yang mengambil bahan baku tembakau dari Kabupaten Temanggung karena memiliki cita rasa yang khas. Tembakau Temanggung digunakan sebagai bahan baku rokok kretek, pemberi rasa dan aroma.
Tembakau dari Temanggung dibudidayakan pada tujuh sentra produksi yaitu Lamuk, Lamsi, Paksi, Toalo, Tionggang, Swanbing, dan Kidulan. Sedangkan varietas lain yang dibudidayakan selain Kemloko, juga ditemukan varietas jenis Mantili, Pelus, dan BAT (Bako Anti Teler).
Sebagai salah satu sentra pemasok bahan baku rokok, nasib petani tembakau di Temanggung semakin terhimpit, rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun depan dan hasil panen yang kurang bagus akibat faktor cuaca mengganggu kondisi ekonomi.
“Hasil panen memang kurang bagus, karena musim penghujan lebih banyak tahun ini dibandingkan musim panas, ditambah rencana kenaikan CHT. Nasib kami semakin tak pasti," kata Suyadi, petani tembakau asal Desa Legok Sari, Tlogomulyo, Temanggung pada akhir pekan.
Menurut dia, dengan kenaikan cukai hasil tembakau, para petani harus memikul beban lebih berat.
"Kami kirim tembakau ke gudang saja sudah dikenakan pajak, ke pabrik juga demikian. Begitu cukai naik, maka yang ditekan itu adalah bahan baku yaitu tembakau dan cengkeh, akhirnya harga di petani jadi turun,” paparnya.
Saat ini, harga rata-rata tembakau di petani sekitar Rp40 - 60 ribu per kilogram (kg), karena memang hasil panen tahun ini sedang menurun kualitasnya akibat faktor cuaca.
“Pembeli melihat dari kualitas tembakaunya, jadi kalau kualitasnya kurang bagus, otomatis harganya ikut menurun," ujarnya.
Lebih lanjut, estimasi biaya produksi untuk 1 hekatre (ha) kebun sekitar Rp 60 juta, dan menghasilkan 6-7 kuintal tembakau kering dengan kualitas bangus dan didukung oleh faktor cuaca yang bagus pula.
"Artinya jika dikalkulasikan, 60 juta dibagi 6-7 kuintal itu akan menghasilkan harga tembakau sekitar Rp100 ribu, itu saja baru balik modal. Makanya para petani bisa meraih hasil panen yang layak jika harganya rata-rata di atas Rp100 ribu. Sudah selayaknya tembakau kita dihargai di atas Rp100 ribu, karena memiliki kualitas yang terbaik jika didukung dengan faktor cuaca yang bagus,” tuturnya.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya pencabutan subsidi pupuk berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 10 Tahun 2022 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi. Termasuk pencabutan subsidi pupuk dari golongan ZA, SP 36, organik granula yang sangat dibutuhkan dalam pertanian tembakau.
Selain pupuk, kendala tanam sekarang ada hama penggerek batang dan siput karena cuaca masih basah, sehingga hama-hama masih banyak yang menyerang tanaman tembakau.
Dengan adanya pencabutan pupuk subsidi tersebut, para petani harus merogok kocek lebih dalam untuk biaya produksi menjadi sekitar Rp80 jutaan per 1 ha lahan tembakau.
"Kami ibarat sudah jatih tertimpa tangga. Sudah mahal, sulit juga mendapatkan pupuk saat ini,” katanya.
Suyadi berharap, pemerintah membatalkan rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) karena imbasnya akan semakin buruk ke petani.
“Keluhan dari petani, cukai jangan terlalu dinaik-naikan karena imbasnya ke petani,” tegasnya.
Untuk diketahui, pemerintah sebelumnya menetapkan target penerimaan cukai Rp245,4 triliun dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja (RAPBN) tahun 2023 atau naik 11,6%. Salah satu cara yang bakal diterapkan ialah dengan menyesuaikan tarif cukai rokok.
Optimalisasi penerimaan cukai ini akan dilakukan dengan beberapa langkah seperti intensifikasi dan ekstensifikasi cukai dalam rangka mendukung implementasi Undang-undang HPP.