PP 109/2012 Masih Relevan Mengatur Sektor IHT
Jakarta - Pelaku industri hasil tembakau (IHT) nasional menilai, Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih relevan untuk mengatur industri pertembakauan.
"PP 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini, mulai dari aturan periklanan, promosi, hingga perdagangannya,” kata Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi di Jakarta, Selasa (14/2).
Menurut dia, revisi PP 109/2012 belum perlu dilakukan dan aturan yang berlaku saat ini telah mengatur berbagai desakan di bidang kesehatan seperti pasal 23 menyebutkan tentang pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.
“Kemudian, pada pasal 49 menjelaskan pengaturan kawasan tanpa rokok, lasal 31 mengatur secara rinci tentang iklan ruangan, pasal 37 yang mengatur secara ketat terkait merek (brand) ataupun aktivitas produk, serta Pasal 47 yang mengatur terkait sponsorship,” paparnya.
Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengungkapkan, PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan.
“Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi," ujarnya.
Henry menilai, usulan revisi PP 109/2012 lebih mengarah kepada pelarangan, bukan pengendalian, yang dinilai dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia.
“Jika mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian, bukan pada pelarangan,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menambahkan, perlu dirumuskan formula baku untuk menetapkan revisi dengan tetap memperhatikan beberapa dimensi.
“Beberapa pertimbangan antara lain pengendalian (kesehatan), tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok ilegal dan petani tembakau dengan mempertimbangkan data terkini tiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), peran tanaman tembakau dalam perekonomian sebesar 8%. Selain itu, peran industri pengolahan tembakau dalam perekonomian semakin turun dari 0,85% pada kuartal I-2018 menjadi 0,67% pada kuartal IV-2022,” tegasnya.